UU ITE

Pengertian UU ITE

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

Salah satu isi dari UU ITE ini adalah “mereka yang secara sengaja dan tanpa hak melakukan penyadapan atas informasi dan/atau dokumen elektronik pada komputer atau alat elektronik milik orang lain akan dikenakan hukuman berupa penjara dan/atau denda. Hal itu tertuang dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 31 ayat (1) dan (2)”.

 Sisi Positif UU ITE

 Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan politik UU ITE mempunyai sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.

 

UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang. Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah. Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.

 

UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet. Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan internet.

 

Sisi Negatif UU ITE

 

Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga terdapat sisi negatifnya. Contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan Rumah Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini. Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam undang-undang konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh kesah mengenai pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih antara UU ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat.

Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup panjang. Maka dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-undang tersebut.

Ada sejumlah pasal yang melarang penyebaran informasi palsu misalnya melalui media pesan elektronik. Antara lain:

Pasal 28

  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

 

Pasal 35

 

 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan,   perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36

 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. 

 Pasal-pasal tersebut, bila dilanggar akan menghadapi ancaman pidana seperti yang diatur pada Pasal 51 UU ITE:

Pasal 51

  1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000, 00 (dua belas miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000, 00 (dua belas miliar rupiah).

 

Perbandingan UU ITE dilingkup Negara ASEAN

Selanjutnya akan dibahas perbandingan antara UU ITE kita dengan negara lain, khususnya pada kesempatan ini dengan negara-negara tetangga kita yaitu negara-negara ASEAN.

 Beberapa hal penting yang menjadi perhatian dalam setiap cyberlaw di negara ASEAN, khususnya yang berhubungan dengan e-commerce antara lain;

 1. Perlindungan hukum terhadap konsumen.

 • Indonesia

UU ITE menerangkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk, produsen dan syarat kontrak.

• Malaysia

Communications and Multimedia Act 1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan menanggapi keluhan konsumen.

• Filipina

Electronic Commerce Act 2000 dan Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku.

Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.

 2. Perlindungan terhadap data pribadi serta privasi.

 • Singapura

Sebagai pelopor negara ASEAN yang memberlakukan cyberlaw yang mengatur e-commerce code untuk melindungi data pribadi dan komunikasi konsumen dalam perniagaan di internet.

• Indonesia

Sudah diatur dalam UU ITE.

• Malaysia & Thailand

Masih berupa rancangan,

 Sedangkan pada negara ASEAN lainnya, hal tersebut belum diatur.

 3. Cybercrime

 Sampai dengan saat ini ada delapan negara ASEAN yang telah memiliki cyberlaw yang mengatur tentang cybercrime atau kejahatan di internet yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam dan termasuk Indonesia melalui UU ITE yang disahkan Maret 2008 lalu.

 4. Spam

 Spam dapat diartikan sebagai pengiriman informasi atau iklan suatu produk yang tidak pada tempatnya dan hal ini sangat mengganggu.

• Singapura

Merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act 2007)

• Malaysia & Thailand

Masih berupa rancangan.

• Indonesia

UU ITE belum menyinggung masalah spam.

Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada.

 5. Peraturan Materi Online / Muatan dalam suatu situs

 Lima negara ASEAN yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura serta Indonesia telah menetapkan cyberlaw yang mengatur pemuatan materi online yang mengontrol publikasi online berdasarkan norma sosial, politik, moral, dan keagamaan yang berlaku di negara masing-masing.

 6. Hak Cipta Intelektual atau Digital Copyright

 Di ASEAN saat ini ada enam negara yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah mengatur regulasi tentang hak cipta intelektual.

Sementara negara lainnya masih berupa rancangan.

 7. Penggunaan Nama Domain

 Saat ini ada lima negara yaitu Brunei, Kamboja, Malayasia, Vietnam termasuk Indonesia yang telah memiliki hukum yang mengatur penggunaan nama domain. Detail aturan dalam setiap negara berbeda-beda dan hanya Kamboja yang secara khusus menetapkan aturan tentang penggunaan nama domain dalam Regulation on Registration of Domain Names for Internet under the Top Level ‘kh’ 1999.

 8. Electronic Contracting

 Saat ini hampir semua negara ASEAN telah memiliki regulasi mengenai Electronic contracting dan tanda tangan elektronik atau electronik signatures termasuk Indonesia melalui UU ITE.

Sementara Laos dan Kamboja masih berupa rancangan.

ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce di ASEAN.

 9. Online Dispute resolution (ODR)

 ODR adalah resolusi yang mengatur perselisihan di internet.

• Filipina

Merupakan satu-satunya negara ASEAN yang telah memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door Courthouse.

• Singapura

Mulai mendirikan ODR facilities.

• Thailand

Masih dalam bentuk rancangan.

• Malaysia

Masih dalam tahap rancangan mendirikan International Cybercourt of Justice.

• Indonesia

Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai perselisihan di internet.

Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan e-commerce